Tidak ada kata-kata yang bisa menjabarkan secara tepat perasaan derita, kemarahan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan yang harus ditanggung “penyintas” setelah peristiwa yang brutal itu terjadi.
Melenggangnya pelaku kekerasan seksual dengan bebas menyebabkan ruang aman bagi perempuan semakin terancam. Tidak adanya perlindungan hukum yang jelas atas kasus kekerasan seksual, produk hukum yang diskriminatif, dan negara yang tidak memiliki kemauan ditunjukkan atas sikapnya yang hingga hari ini belum juga mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi penyebabnya.
Hal ini semakin menegaskan bahwa negara melalui aparatusnya telah abai untuk memberikan payung hukum yang jelas terhadap para korban kekerasan seksual. RUU PKS yang sejak tahun 2012 digagas Komnas Perempuan dan pada tahun 2014, Komnas Perempuan mulai membangun rumusan yang melibatkan berbagai pihak guna merumuskan draft RUU dan draft Naskah Akademiknya. Hingga pada tahun 2016, draft RUU masuk ke DPR. Pemerintah dan DPR sepakat memasukkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas 2016.
RUU PKS sendiri terdiri dari 16 BAB & 184 Pasal, berisi 9 jenis kekerasan seksual yang sebagian besar tidak diatur dalam KUHP maupun aturan lain. Sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur dalam RUU PKS ini adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Maraknya kasus kekerasan seksual yang terus meningkat dinilai menjadi urgensi pengesahan RUU PKS ini. Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan Tahun 2021, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 mencapai 299.911 kasus, dimana kasus kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus. Intensitas kekerasan terhadap perempuan di ranah personal, khususnya dalam bentuk kekerasan seksual mencapai 6.480 kasus, sedangkan di ranah publik / komunitas sebanyak 1.731 kasus. Sedangkan kekerasan berbasis gender siber (KBGS) dengan kenaikan sebesar 348%, yaitu 409 kasus di tahun 2019 menjadi 1.425 kasus di tahun 2020. Data ini hanyalah data yang tercatat dan masih banyak kasus kekerasan seksual diluar sana yang luput dari pendataan. Berangkat dari paparan data diatas menandakan negara kita belum mampu menyediakan ruang aman bagi perempuan.
Pengesahan RUU PKS sampai saat ini terus didengungkan oleh berbagai kalangan baik dari LSM, organisasi mahasiswa dan individu-individu merdeka.
Dibalik berbagai dukungan pengesahan RUU PKS ini, ada juga beberapa organ maupun individu yang menolak pengesahan RUU ini. Mereka yang menolak RUU ini mengatakan bahwa RUU ini adalah RUU yang pro-zina dan pro-LGBT.
Lantas, benarkah RUU PKS adalah RUU yang pro-LGBT ? Setelah membaca Draft RUU PKS yang terdiri dari 16 bab ini, saya tidak menemukan satu klausul maupun pasal yang membahas tentang LGBT dan tidak ada satupun yang menyebutkan bahwa RUU ini pro-LGBT maupun pro-zina.
Tidak dibahasnya mengenai komunitas LGBT dan perihal perzinahan di RUU PKS dikarenakan RUU ini lebih fokus pada pemulihan dan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual, baik itu perempuan, laki-laki, dan kelompok minoritas seksual maupun gender.
Tidak sampai disitu, mereka yang menolak RUU ini juga mempermasalahkan judul dari RUU ini yakni “Penghapusan Kekerasan Seksual” dan ingin mengubahnya menjadi “Penghapusan Kejahatan Seksual”. “Kejahatan Seksual” versi mereka ini mendiskriminasi orientasi seksual atau gender tertentu yang tidak terdaftar di nalar mereka. Parahnya, mereka yang menolak RUU ini menciptakan narasi yang dibuat secara inklusif agar dipahami oleh orang awam, narasi yang paling menyedihkan adalah mereka yang menjual dalil agama mereka dan memuat kepentingan tertentu dengan perspektif satu agama saja untuk memojokkan para pendukung RUU PKS ini, lantas tidak menawarkan solusi yang konkret.
Akhir-akhir ini, banyak dari korban kekerasan seksual mulai bersuara atas kejadian yang menimpanya melalui media sosial, mulai dari kasus pegawai Starbuck yang mengintip payudara seorang pelanggan melalui CCTV, kasus Gilang yang memakai kedok riset hanya untuk memuaskan fetish-nya semata dengan memanipulasi para korbannya, kemudian AF yang menguak kisah perkosaan terhadap dirinya, banyaknya korban yang bersuara adalah puncak dari gunung es, masih banyak korban kekerasan seksual yang tidak berani mengungkap pengalaman tragisnya.
Kondisi tersebut terjadi lantaran adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban seperti pelaku yang merupakan tokoh atau pejabat publik, pelaku dapat menggunakan jaringan dan kuasanya untuk mempengaruhi akses keadilan korban dan pandangan aparat penegak hukum dan masyarakat. Dampaknya terjadi impunitas terhadap pejabat dan tokoh publik, sementara hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan tidak terpenuhi.
Kekerasan seksual semakin dinormalisasi di Indonesia disaat yang sama, pemerintah dan DPR tak kunjung mengesahkan RUU untuk memberikan perlindungan hukum bagi penyintas. Sampai kapan? Undang-Undang yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual dibahas dan disahkan.
Masih mengakarnya budaya menyalahkan korban (playing victim) dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia membuat wajah penegakan hukum semakin lesuh. Tak jarang, korban disalahkan: “Apa baju yang dipakainya?” Seorang pejabat di negara ini bahkan menyalahkan korban yang pulang sekolah berjalan sendirian. Ada pula yang menyalahkan alkohol dan video porno sebagai penyebab tindakan keji itu. Banyak dari korban juga menyalahkan diri sendiri. Merasa kejadian yang dia alami adalah tanggung jawab dirinya. Selain itu kasus penegakkan hukum terkait kekerasan seksual yang dirasa tidak berpihak juga menjadi alasan lantaran aparat penegak hukum belum berspektif korban.
Maka dari itu, Rancangan Undang-Undang ini harus disahkan. Yang dimana RUU PKS ini akan memberi jaminan pada para korban agar mereka berani melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya. Juga, RUU PKS ini akan melindungi dan memulihkan hak-hak korban (hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan) serta menindak pelaku secara tegas.
Saat ini, kelompok masyarakat sipil yang mengatasnamakan Gerak Perempuan menggelar “Aksi Selasaan” setiap minggunya yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, aksi ini sebagai upaya memperjuangkan pengentasan kekerasan seksual dan desakan atas RUU PKS yang hingga saat ini belum disahkan.
Penulis: Andi Muh. Alfian Naim – Jurusan Kesehatan Lingkungan