Kampus yang seharusnya memfasilitasi mahasiswa dalam mengeksplorasi dirinya dalam berbagai aspek, dan juga mewadahi mahasiswa yang sejatinya insan akademis, tetapi Poltekkes Kemenkes Makassar (Polkesmas) dalam beberapa aturannya tampak telah berusaha secara sistemik membatasi kebebasan mahasiswa, terbukti dengan adanya pembatasan kegiatan mahasiswa di malam hari atau pemberlakuan jam malam. Selama pandemi, kegiatan mahasiswa di kampus hanyalah sampai pukul 6 petang. Lantas pantaskah aturan tersebut tetap diberlakukan?
Saat ini, kampus tidak malu lagi melarang dengan resmi aktivitas mahasiswanya sendiri. Selalu alasannya stabilitas dan menganggu ketertiban, kadang alasannya juga tak jelas. Mungkin bagi mereka mahasiswa tak usah memikirkan aktivitas di luar kepentingan studi. Kegiatan apapun dan kegiatan apa saja harus diketahui oleh pihak kampus. Rasa-rasanya mereka sudah tak memahami lagi apa itu kebebasan akademik. Mereka seperti mempercayai kalau kebebasan itu tak bisa digunakan seenaknya. Kata mereka kalau kebebasan dibiarkan maka yang terjadi adalah keguncangan dan anarki. Bagi mereka, tugas kampus hanya mengantar anak untuk belajar hingga mendapat gelar.
Apakah masih pantas, aturan pembatasan jam malam tetap diberlakukan, ketika telah jelas aturan tersebut mencederai marwah mahasiswa? Mari menilik dengan seksama, telah dijelaskan sebelumnya bahwa mahasiswa sudah harusnya memiliki kebebasan untuk mengeskplor dirinya, tapi peraturan jam malam membatasi mahasiswa untuk melakukan pengembangan dirinya melalui kegiatan-kegiatan di lembaga, hal ini disebabkan oleh minimnya waktu berlembaga. Belum lagi waktu bersosialisasi dan berinteraksi sesama mahasiswa sangatlah terbatas, dikarenakan waktu proses belajar mengajar di kampus biasanya sampai sore hingga menjelang maghrib. Sudahlah jelas bahwa aturan jam malam, dalam aspek kebebasan mahasiswa nampak dibatasi.
Sebenarnya aturan ini sudah ada sejak lama, jam malam dulunya diterapkan untuk menjaga keamanan umum, seperti saat terjadi kerusuhan dan perang, atau untuk membatasi gerak-gerik kelompok tertentu, seperti jam malam yang diberlakukan pemerintah Jerman Nazi terhadap orang-orang Yahudi. Kini, istilah tersebut mencuat kembali dalam aturan yang diterapkan dibanyak kampus di Indonesia, salah satunya di Polkesmas. Isu jam malam sudah beberapa kali diangkat untuk kemudian diharapkan jadi bahan pertimbangan kembali oleh para pemangku kebijakan di kampus. Tapi, suara-suara mahasiswa sangat mudah dibungkam oleh pihak kampus, dengan alasan keamanan dan ketertiban, terlebih ditengah pandemi.
Argumen yang paling sering dilontarkan oleh pihak kampus menyoal jam malam adalah terkait ketertiban dan keamanan kampus. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah tindakan kriminal hanya ada pada malam hari dan tidak terjadi di siang hari? Nampaknya tidak ada korelasi antara waktu dengan tindak kejahatan, semuanya tergantung pada individu masing-masing.
Namun begitu, sebenarnya alasan diatas juga tetap saja tidak bisa dipakai oleh kampus untuk memberlakukan jam malam. Jika untuk menjaga keamanan umum, apakah dengan mahasiswa berkegiatan hingga malam membuat keamanan umum terganggu? Lucu sekali bukan? Mahasiswa yang sedang berekspresi dan menumpahkan kreativitasnya malah dianggap sebagai perusuh dan pembangkang juga malah disangka menganggu keamanan dan ketertiban umum. Sekretariat ormawa yang menjadi rumah bagi para mahasiswa menuangkan ide dan gagasan serta menciptakan karya, malah dibatasi dengan aturan konyol seperti jam malam dan lebih keterlaluan lagi jika mereka para birokrat kampus membatasi mahasiswa melalui aturan jam malam ditambah dengan melontarkan ancaman akan memutus aliran listrik kampus.
Pada dasarnya aturan-aturan di perguruan tinggi dibuat dengan dua acuan. Aturan yang dibuat berdasarkan konstitusi, yakni UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan aturan yang dibuat secara kondisional seperti SK dari Direktur. Walaupun demikian, Undang-Undang tetap menjadi acuan induk dalam membuat aturan yang kondisional.
Sepertinya mereka yang menerapkan aturan jam malam ini sudah lupa pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) No. 12 Tahun 2012. Pada pasal 4 UU No 12 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa perguruan tinggi berfungsi mengembangkan Civitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma. Dengan masih berlakunya jam malam, penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak akan termanifestasi secara optimal, dikarenakan kebebasan mahasiswa untuk mengembangkan diri telah dibatasi secara sistemik. Mungkin sepertinya para pemangku kebijakan kampus tidak tahu mengenai hierarki Peraturan Perundang-undangan. Sehingga menganggap bahwa aturan rektor/direktur lebih tinggi dan dapat mengesampingkan undang-undang pemerintah.
Itu hanya satu dari sekian banyak poin Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang tidak sejalan dengan aturan jam malam. Maka sudah jelas, bahwa aturan pembatasan jam malam adalah aturan yang kontraproduktif, membatasi ruang gerak mahasiswa dalam berekspresi juga merampas hak mahasiswa. Kalau demikian, kampus sudah mengubur potensi-potensi besar yang seharusnya akan muncul jika kebebasan akademik dipertahankan. Jika kebebasan itu dibiarkan teraniaya maka bisa jadi kampus jadi tempat kediaman para diktator. Gelora menghukum tidak melindungi mahasiswa telah membuat kampus serupa penjara. Membatasi mahasiswa untuk berkegiatan di malam hari serta menjatuhkan sanksi bagi mereka yang tak mematuhi. Seakan kebebasan memang bukan norma tapi kepatuhan yang jadi dogma.
Saya harap tulisan ini tidak sekedar menjadi adu gagasan semata tapi dapat memantik diskusi-diskusi kritis dan melahirkan gerakan.
“Kebebasan adalah dasar penting untuk lahirnya semua nilai yang baik”, Albert Einstein
Penulis : Andi Muh. Alfian Naim – Jurusan Kesehatan Lingkungan