Pandemi Semakin Mencekik, Pendidikan Tinggi Semakin Sulit

oleh -
Ilustrasi sulitnya mengakses pendidikan selama pandemi Covid-19

Hak Atas Pendidikan Tinggi

“Pendidikan ialah hak segala bangsa”

Kalimat diatas tidak asing terdengar di telinga kita, mungkin kawan-kawan pernah membaca atau setidaknya mendengar kalimat tersebut. Kalimat tersebut termaktub dalam UUD RI 1945, Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Selanjutnya, ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Amanah ini menyaratkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak dan semestinya masih dipedomani hingga saat ini.

Tapi, pernahkah kita menelaah baik-baik apa makna dari kalimat tersebut? Atau paling tidak, mengingat-ingat kembali di ingatan kita, sudahkah pemerintah menjalankan kewajibannya? Jika “pendidikan ialah hak segala bangsa”, pertanyaan selanjutnya adalah apakah pendidikan sekarang ini telah menjadi hak segala bangsa? Atau hanya menjadi hak segelintir orang saja?

Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) yang dituangkan dalam UU No. 11 Tahun 2005 (Lembar Negara RI 2005/No. 118, TLN No. 7 4557). Salah satu muatan instrumen hukum hak asasi manusia (HAM) internasional tersebut adalah hak atas pendidikan (right to education) sebagai suatu hak pemberdayaan (empowerment rights) dan termasuk dalam kategori hak-hak menyangkut kebudayaan.

Dilansir dari laman komunalnokturnal.wordpress “UKT Sebagai Tuhan Palsu; Sebuah Analisa Menyiapkan Tunas Perubahan Yang Dimulai Dari UKT”, Pada prinsipnya, hak-hak EKOSOSOB telah memutuskan bila pendidikan seharusnya diakses secara gratis dan merata bagi semua orang, tidak hanya terbatas pada tingkat pendidikan dasar, namun juga pendidikan tinggi. Perbedaannya, bila pendidikan dasar harus dijangkau secara wajib dan gratis, maka pendidikan tinggi harus diwujudkan penggratisannya secara bertahap. Perbedaan yang juga harus dilihat bahwa pendidikan tinggi harus diwujudkan pada penekanan keterjangkauan yang setara berdasarkan kemampuan (capacity), tentunya terminologi ‘kemampuan’ yang dimaksud bukanlah kemampuan ekonomi, melainkan keahlian (expertise) dan pengalaman (experience).

Terkait akses terhadap pendidikan tinggi, sebagaimana disebutkan oleh Komite Hak-Hak EKOSOB dalam Komentar Umum No. 13 tentang Hak atas Pendidikan (Pasal 13) yang berbunyi Prinsip tersebut terpetakan menjadi tiga: non-diskriminasi; aksesibilitas fisik dan aksesibilitas ekonomi. Mengerucut kepada aksesibilitas ekonomi, teks muatannya adalah :

“Aksesibilitas Ekonomi – pendidikan harus terjangkau oleh semua orang. Dimensi aksesibilitas tersebut tunduk pada perbedaan kata dalam pasal 13 (2) dalam kaitannya dengan pendidikan dasar, menengah dan tinggi: bila pendidikan dasar harus tersedia “gratis untuk semua”, negara-negara pihak diwajibkan untuk bertahap memperkenalkan pendidikan menengah dan tinggi secara gratis;”

Sedangkan, UU 12/2012 yang mengatur tentang mekanisme pendidikan tinggi hari ini yang sudah berjalan selama 8 tahun sejak disahkannya belum mampu menjawab persoalan akses Pendidikan Tinggi untuk seluruh rakyat Indonesia.

Pendidikan Tinggi harusnya dijamin secara merata oleh pemerintah untuk dapat diakses seluruh rakyat. Akses Pendidikan Tinggi yang eksklusif sebab biaya yang mahal pada akhirnya membatasi kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan strata sosialnya.

Pandemi dan Krisis Multisektor

Pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak diumumkannya kasus pertama per 2 Maret 2020 hingga sekarang, ada banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi pandemi ini, mulai dari PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hingga PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), tapi nyatanya pemberlakuan berbagai aturan ini tak efektif menekan laju penyebaran Covid-19 karena sejak awal pandemi pemerintah sekadar melakukan pengendalian semu sehingga kasus konfirmasi positif kian melonjak, pemerintah gagap dalam mengeluarkan kebijakan yang komperehensif.

Situasi krisis akibat pandemi Covid-19 dan proyeksi ekonomi telah bergeser dari krisis kesehatan menjadi krisis sosial-ekonomi. Hampir semua orang merasakan dampak akibat pandemi Covid-19 ini. Krisis sosial ekonomi sangat berdampak pada kemampuan para mahasiswa membayar biaya pendidikan. Tak bisa dipungkiri ada banyak mahasiswa terancam tidak mampu melanjutkan pendidikan.

Tak dapat dipungkiri, pandemi menyebabkan berbagai dampak serius, di sektor ketenagakerjaan sendiri ada 29,12 Juta orang penduduk usia kerja terdampak pandemi Covid-19, sejak April hingga Juli 2020 tercatat sekitar 2.175.928 pekerja yang dirumahkan dan di PHK. Bukan hanya pada sektor ketenagakerjaan, masalah ketahanan pangan sangat rentan bermasalah pada situasi pandemi.

Terbatasnya mobilitas masyarakat akibat kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengakibatkan terganggunya sistem pangan yang berjalan. Pemberlakuan pembatasan mobilitas masyarakat berimbas pada lambatnya proses distribusi pangan, juga mempengaruhi kualitas kesegaran produk pertanian di sejumlah wilayah di Indonesia. Hal ini berakibat pada turunnya harga komoditas pertanian dan ini sangat mempengaruhi perekonomian keluarga petani.

Pandemi Covid-19 menyebabkan krisis multisektor dan juga berimbas pada sektor pendidikan itu sendiri, dimana aksebilitas terhadap pendidikan semakin sulit ditengah pandemi. Seperti yang diutarakan Rina (bukan nama sebenarnya) salah satu mahasiswa Poltekkes Kemenkes Makassar mengungkapkan bahwa selama pandemi, dirinya mengalami berbagai kesulitan untuk beradaptasi pada metode pembelajaran daring serta pengadaan kuota kampus yang macet dan tidak dirasakan mahasiswa secara luas.

“Adanya corona, dimana segala aktivitas perkuliahan beralih secara online (daring) membuat saya kesulitan, kuota yang cepat habis akibat penggunaan virtual meeting seperti zoom dan google meet, belum lagi jaringan di kampung yang kurang baik membuat proses transformasi pengetahuan menjadi tak efektif dan optimal pun menjadi permasalahan, pengadaan kuota kampus sering mandek dan tidak terdistribusi secara merata,” ungkapnya.

Terjadinya resesi ekonomi diberbagai sektor menyebabkan lumpuhnya perekonomian, membuat orangtua mahasiswa kehilangan pekerjaan sehingga kesulitan membayar uang kuliah, banyak dari mahasiswa yang terancam cuti akademik dan tidak dapat mengikuti perkuliahan di semester berikutnya. Seperti yang diungkapkan Arman (bukan nama sebenarnya), Mahasiswa semester 6 di salah satu jurusan di Poltekkes Kemenkes Makassar yang terancam cuti akademik karena tidak memiliki biaya.

Arman menilai pembayaran biaya pendidikan di situasi sekarang dimana proses perkuliahan tidak optimal itu tidak realistis, kampus seharusnya bisa mengeluarkan subsidi maupun penyesuaian secara general bagi mahasiswa, sebab semua mahasiswa merasakan dampak pandemi.

“Fasilitas kampus yang tidak digunakan secara efektif dan pembayaran UKT yang dibayar full, Poltekkes Kemenkes Makassar sendiri, mengeluarkan program Beasiswa Covid bagi mereka yang terdampak, namun beasiswa ini tidak dapat mengakomodir seluruh mahasiswa. Ada banyak persyaratan yang diskriminatif dan tidak menyentuh akar permasalahan. Seharusnya kampus, ditengah minimnya pengeluaran anggaran semestinya bisa memberikan keringanan berupa subsidi dan penyesuaian bagi mahasiswa,” terangnya.

Saat ini, Arman bekerja serabutan di sebuah outlet minuman untuk mengumpulkan uang, agar dapat membayar biaya kuliah di semester berikutnya.

Pandemi Covid-19 mempertegas ketidaksiapan instansi Pendidikan Tinggi menghadapi krisis internal yang sebenarnya sudah jauh berlangsung sebelumnya. Semenjak pandemi, kegiatan akademik dialihkan secara daring, tapi pembayaran masih tetap sama.

El (bukan nama sebenanarnya) mahasiswa Angkatan 2019 yang terpaksa harus menjual motornya hanya untuk bertahan hidup dan membayar UKT.

“Hak mahasiswa dalam mendapatkan fasilitas yang layak haruslah didapatkan sesuai dengan besaran kewajiban UKT yang dibayarkan. Saya sampai harus menjual motorku, dan menggantinya dengan motor yang jauh lebih tua, itu demi memenuhi kebutuhan sehari-hari selama beberapa bulan di Makassar, belum lagi UKT untuk mahasiswa tahun 2019 mengalami kenaikan sebesar 100% dibandingkan tahun sebelumnya, orang tua sampai harus meminta pinjaman untuk membayar biaya kuliah,” tukasnya.

Lebih lanjut, El mengungkapkan bahwa saat ini, kampus tidak melihat secara jelas persoalan materil yang dihadapi mahasiswa.

“Pendidikan saat ini terkhusus pendidikan tinggi tidak melihat secara detail tentang apa yang di rasakan mahasiswa saat pandemi, yang kemudian mahasiswa diberatkan dengan kuliah online dengan modal sendiri dan di paksa untuk tetap membayar uang kuliah dengan dalil bahwa kampus juga membutuhkan biaya untuk menggaji dosen dan perlengkapan kampus lainnya, tanpa melihat fakta lapangan bahwa mahasiswa juga kesulitan untuk membayar uang kuliah di karenakan berkurangnya pendapatan keluarga akibat terpuruknya ekonomi,” tutupnya.

Sebagian besar mahasiswa Polkesmas masih merasakan kesulitan membayar uang kuliah, masalah utamanya, orang tua yang menjadi penanggung biaya mahasiswa terdampak secara langsung, sehingga untuk mencukupi kebutuhan materil saja sangat sulit, ditambah dengan biaya pendidikan yang sangat-sangat mahal.

Keberlangsungan hidup masih terancam akibat pandemi Covid-19 yang berdampak bagi kesehatan masyarakat. Bukan cuma itu, dari segi ekonomi pun ikut terdampak. Hal ini juga memberikan sederet masalah terhadap keberlangsungan peserta didik untuk berproses di Perguruan Tinggi.

Melihat kondisi yang semakin mendesak, sudah saatnya merumuskan suatu langkah politik yang lebih mendesak para pemangku kebijakan pendidikan tinggi, khususnya pemangku kebijakan di Polkesmas dengan tidak terlalu rendah lagi menaruh batas kompromi atas pendidikan yang berkeadilan. Sebab, pendidikan berkeadilan adalah pendidikan yang dapat diakses oleh semua orang, karna sejatinya ruang – ruang belajar adalah wadah untuk menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya bukan sebagai budak para penguasa.

Catatan kaki:

  • Manifesto Pendidikan Tinggi Gratis, Federasi Mahasiswa Universitas Hasanuddin, 2020 bit.ly/ManifestoPendidikanTinggiGratis
  • Paragraf 19 Komentar Umum Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya No. 13 tentang Hak atas Pendidikan (Pasal 13) E/C.12/1999/10
  • Alimeinhof, “UKT Sebagai Tuhan Palsu; Sebuah Analisa Menyiapkan Tunas Perubahan Yang Dimulai Dari UKT”, https://komunalnokturnal.wordpress.com/2019/12/08/ukt-sebagai-tuhan-palsu-unhas-sebuah-analisa-menyiapkan-tunas-perubahan-
  • Center for Strategic and Interna_onal Studies (CSIS). “Covid-19 Threatens Global Food Security: What Should the United States Do?.” h_ps://www.csis.org/analysis/Covid-19-threatens-global-food-security-what-should-united-states-do .
  • www.kemnaker.go.id “19,12 Juta Orang Penduduk Usia Kerja Terdampak Pandemi”https://kemnaker.go.id/news/detail/menaker-ida-2912-juta-orang-penduduk-usia-kerja-terdampak-pandemi-covid-19

Penulis : Andi Muh. Alfian Naim – Jurusan Kesehatan Lingkungan