Seorang budayawan, Goenawan Muhammad pernah menulis, “Tiap kali saya mendengarkan Nurcholish Madjid, tiap kali saya merasa ada yang terselamatkan dalam iman saya”. Artinya, ada pesan-pesan kebaikan Cak Nur yang tersampai dalam diri seorang Goenawan Muhammad dan bisa saja beliau telah mendapatkan kebenaran (bukan menolak kebenaran) dari setiap pesan-pesan yang disampaikan oleh Cak Nur dan orang-orang seperti itu adalah termasuk orang-orang yang mendapatkan hidayah dari Allah. Sebagaimana Allah telah berfirman, “Dan barangsiapa Allah menghendaki untuk diberiNya hidayah, maka Dia lapangkan dada orang itu untuk (atau karena) Islam dan barangsiapa Allah menghendakinya sesat, maka Dia jadikan dada orang itu sempit dan sesak, seolah-olah naik ke langit.” (Q.S. 6:125).
Budhy Munawar Rachman pun bercerita bagaimana kekuatan religiusitasnya seorang Cak Nur. Cerita itu ialah tentang pesan Gusdur kepada Cak Nur dan tanggapan balik Cak Nur terhadap pesan Gusdur kepada dirinya. Gusdur menyampaikan kepada Dr. Budhy Munawar Rachman, kata Gusdur, “Budhy tolong bilang sama Cak Nur kalau bicara Demokrasi jangan selalu mengunakan Ayat-ayat Al-Qur’an”. “Kalau mau membela Demokrasi atau mewujudkan demokrasi, kerja untuk demokrasi itu sendiri,” kata Gusdur. “Jangan berwacana tentang syura, tentang kalimatusyawa, sampaikan ya, jangan lupa,” kata Gusdur. Beliau lagi mempertegas kalau mau membela demokrasi persis seperti saya, tirulah saya, dirikan Forden (Forum Demokrasi). Gusdur pada saat itu bukan hanya sebagai Ketua PB-Nu saja, tapi Ketua Forden, yang sangat fenomenal, yang benar-benar anti dengan orde baru, terhadap otoritarianisme.
Besoknya, saya ketemu dengan Cak Nur di Paramadina. “Cak Nur, katanya Gusdur, anda harusnya kerja langsung, seperti dia membangun forum Demokrasi, di masa reformasi harusnya langsung, bukan berwacana agama,” lama sekali Cak Nur merenungkan mengenai itu, kata Budhy dan saya menunggu beberapa menit, sehingga Cak Nur kemudian menjawab dengan mengejutkan, “Budhy kamu harus tahu siapa saya, siapa Gusdur, saya tidak ada apa-apanya, saya hanyalah seorang anak dari seorang Ustad/Kiyai di kampung, sehingga apa yang saya katakan, walaupun itu agama orang akan bilang sekuler, tapi anda lihat siapa Gusdur. Gusdur itu darah biru, siapa dia? Dia adalah cucu dari Hadaratussyekh (Kiyai Hasjim Asy’ari) yang memimpin revolusi dan juga menggerakkan perlawanan terhadap Belanda, Inggris di Surabaya dan Gusdur adalah anaknya dari Kiyai Wahid Hasyim, beliau adalah Menteri agama pertama, jadi Gusdur itu, darah biru, sebagai seorang yang berdarah biru apa saja yang ia katakan, walaupun itu sekuler orang akan menganggap itu agama. Jadi, Gusdur udah enak bisa langsung ke-argumen Demokrasi dan orang akan melihatnya sebagai agama, tapi saya sudah pakai argumen agama orang lihatnya sekuler.” dan itu yang membuat saya, ya, mengerti kenapa Cak Nur dia perlu argumen Islam, orang seperti Gusdur lebih rileks dan langsung. Kata Budhy, perbedaan Cak Nur dan Gusdur hanya itu, walaupun akhirnya dua-duanya tetap sepakat mendorong Demokrasi, di periode kedua Cak Nur memperlihatkan kepada kita, perlu membangun teman-teman Islam, menjadi ilmu pengetahuan, kalimatul syawa, konsep politik untuk pluralism (Ringkasan Materi Dr. Budhy Munawar Rachman saat menjadi pembicara dalam kajian kebangsaan di Sekretariat Islam Nusantara Center (INC), Sabtu, 29 September 2018. Tema: Politik Islam, Politisasi Islam dan Islam Politik: Membaca Kembali Pemikiran Cak Nur).
Perbedaan prinsipil antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi tersendiri dan lepas dari agama. Inti sekularisme ialah penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini. Dari perspektif Islam, sekularisme adalah perwujudan modern dari paham dahriyah,seperti diisyaratkan dalam Al-Quran, (Q.S. 45:24) : Mereka berkata, “Kehidupan ini tiada lain hanyalah kehidupan dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.” Mereka tidak lain hanyalah menduga duga saja. Jadi jelas, sekularisme tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam (Edisi Digital Ensiklopedia Nurcholish Madjid Jilid 4 – Halaman 2968).
Sehingga setelah itu, kita bisa membedakan prinsip konsep sekularisme dan sekularisasi tersebut. Adapun Cak Nur telah banyak bicara tentang sekularisasi, sehingga dari pikiran Cak Nur kita akan mendapatkan kesimpulan awal bahwa sebenarnya urusan politik adalah urusan temporal/duniawi semata. Sehingga dari berbagai referensi yang pernah disinggung oleh Cak Nur di berbagai esai, jejak pidato dan buku yang ditulis sendiri oleh Cak Nur maupun dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang lainya bahwa ia tidak sepakat dengan formalisasi agama dalam negara dan menafikan eksistensi negara Islam. Sehingga, Cak Nur menyampaikan bahwa Islam tidak pernah memiliki cita-cita untuk mendirikan negara Islam. Artinya, berkaitan politik adalah urusan duniawi yang tidak semestinya disakralisasi, sehingga manusia bisa mengembangkan dimensi itu dengan universal. Apakah dengan demikian Cak Nur menganggap politik adalah sesuatu yang terpisah dengan agama? Tentu saja tidak. Cak Nur tetap konsisten bahwa agama dan politik itu sesuatu yang tidak terpisah.
Kita harus menyadari bahwa menempatkan urusan politik dalam dimensi duniawi bukan berarti menghilangkan dimensi agama dari dalamnya. Sebab, Cak Nur tetap memiliki keyakinan dan konsistensi terhadap pemahamannya yang sudah lama ia tegaskan bahwa sekularisasi ini adalah untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai hamba dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Penegasan tidak terpisahnya agama dari politik menurut Cak Nur bukanlah praktik berpolitiknya, melainkan orientasi dari politik itu sendiri. Bagi Cak Nur, seorang muslim dalam bernegara harus berniat dalam rangka mencapai rida Allah dengan itikad baik guna mencapai tindakan yang tepat. Karena sesungguhnya, tujuan politik adalah untuk mengatur urusan masyarakat demi tercapainya keadilan. Oleh demikian, manusia hendaknya mengembangkan gagasannya dimensi politik guna mencari yang sifatnya substansial dalam kehidupan, agar bermanfaat bagi masyarakat luas dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Setelah masyarakat muslim memosisikan politik dalam wilayah duniawi (sekularisasi), dalam paradigma Cak Nur, masyarakat muslim tersebut dapat mengembangkan gagasannya secara bebas (liberal), universal, rileks dan langsung dan menjadikan siapapun adalah guru dan dimanapun tempat adalah sekolah, sehingga sistem demokrasi dapat memasuki dalam sendi-sendi hidup manusia yang lebih berintegritas, maka masyarakat muslim harus mempelajarinya dari siapapun dan dimanapun untuk mencapai bentuk demokrasi yang lebih kokoh lagi.
Satu setengah tahun pra digelarnya Pemilihan Umum 1971, suhu politik di Indonesia gempar. Tepatnya pada awal 1970, dimana ketika itu Nurcholish Madjid adalah Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang menggaungkan sebuah kalimat dahsyat, pada saat pertemuan akbar dalam acara halalbihalal dengan berbagai lembaga-lembaga Islam, seperti Gerakan Pemuda Islam (GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Pelajar Islam Indonesia(PII). Cak Nur membawakan pidato berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam pidatonya, Cak Nur dengan lantang menyampaikan “Islam Yes, Partai Islam No”. Paradigma tersebut adalah dekonstruksi dan konsistensi Cak Nur bahwa agama harus dibedakan dengan urusan politik.
Dengan demikian, kualitas agama seseorang tidak ditentukan oleh sikap seseorang itu tergabung atau memilih partai Islam atau tidak. Melainkan, yang dilihat apakah orientasi individu dan masyarakat muslim tersebut dalam keputusan politiknya adalah untuk mencapai keadilan yang diridai oleh Allah SWT. Artinya, kita harus memahami bahwa yang terpenting adalah output-nya yang tepat. Sedangkan, metode harus dikembangkan secara bebas untuk mendapatkan output yang tepat pula.Begitupun seseorang dalam beragama itu, tidak hanya satu jalan. Apalagi jalan itu juga sangat tergantung kepada masing-masing pribadi, yang mempunyai idiom sendiri-sendiri mengenai bagaimana beragama.
Penulis : Mafturrahman – Direktur Rumah Kosong Institute