Persekusi Senior dan Premanisme dalam Kampus

oleh -
Ilustrasi senioritas (Foto : Solider.id)

Menjadi tenaga kesehatan

Mengabdi dengan tulus ikhlas

Menggapai cita-cita mulia

Bagi bangsa dan negara

(Mars Polkesmas)

Perguruan tinggi, di sana segala suku, agama, bercampur baur. Rasa kesukuan dan kedaerahan amat kecil serta sifat kebersamaan lebih menonjol. Melalui pembinaan dan “pengaderan” yang ada di lingkungan kampus, merekalah yang akan menentukan arah bangsa ini kedepannya.

Tetapi kalau kita melihat secara lebih mendalam terhadap kehidupan kampus ini, kita akan bergidik sendiri, dimana masih terdapat mahasiswa yang bermental “preman”. Preman yang saya maksud disini bukan preman yang ada di masyarakat yang kerjanya cuma memalak masyarakat sipil, tetapi “preman” yang ada di lingkup kampus itu sendiri.

Kita tak menyangkal, ternyata mahasiswa bermental preman inilah yang menanamkan dogma-dogma terhadap mahasiswa baru yang datang setiap tahunnya, melalui kegiatan pengaderan. Kata-kata seperti pengaderan/ospek ini tentunya sudah sangat familiar bagi kita mahasiswa dimanapun kita kuliah, karena ini termasuk kebiasaan yang dilakukan untuk mahasiswa baru di perguruan tinggi, politeknik, maupun sekolah tinggi.

Ketika kita mendengar kata pengaderan ini banyak yang merasa itu menyeramkan, dan ada aksi kekerasan didalamnya. Namun kaderisasi ini sudah sejak lama dilakukan sehingga kegiatan ini menjadi tradisi. Lebih tepatnya tradisi yang buruk dan bobrok. Namun sudah menjadi rahasia umum, bahwa tradisi ini telah dilakukan dengan menanamkan dogma-dogma serta kekerasan di lingkup kampus.

Seperti dilingkungan kampus kita tercinta ini, dimana kampus menjadi ruang ilmiah yang “seharusnya” demokratis dan mengedepankan humanis. Perlu diingat bahwa, tidak semua tradisi dan budaya harus dipertahankan, kalau memang semua budaya dan tradisi harus dipertahankan, mengapa budaya pola hidup nomaden tidak dipertahankan? Karena menurut saya, budaya dan tradisi tersebut sudah tidak cocok di masa sekarang ini begitupun dengan senioritas.

Tapi pada pelaksanaannya, pengaderan yang dilaksanakan tiap tahunnya ini dilakukan tanpa sepengetahuan pihak kampus, saat itu terjadi mahasiswa baru yang tidak mengerti apa-apa akan dikibuli dan ditipu oleh mahasiswa ideal a.k.a senior. Para mahasiswa yang merasa ideal ini akan menanamkan satu doktrin yang mereka adaptasi dari militer, yaitu apa ? SENIORITAS, Sistem komando tunduk dan patuh pada apapun yang dikatakan oleh senior, dan tidak lupa mereka juga membuat UU mereka sendiri, yaitu peraturan tak tertulis yang harus dipatuhi oleh mahasiswa baru ini. Seperti Pasal 1 : Senior Tidak Pernah Salah, Pasal 2 : Jika Senior Salah, Maka Kembali Pada Pasal 1. Peraturan ini sangat berkontradiksi dengan nilai-nilai humanis. Seperti juga slogan “Satu Yang Berbuat Salah, Semuanya Kena”.

Menurut saya, senior yang melegalkan senioritas ini agaknya tak lebih buruk dari manusia purba, dimana mereka masih sama-sama menanamkan pola-pola purba nan primitif di masa sekarang.

Menyoal tindak kekerasan yang dilakukan oleh senior ini, jika kita melanggar peraturan konyol tersebut, maka makian, pemukulan, penamparan, kunci perut, sudah menjadi asupan. Tentu tindak kekerasan ini telah mencoreng nilai-nilai Hak Asasi Manusia itu sendiri, yang jika kita menengok Rule Of Law, tentu hal tersebut semestinya dilaporkan.

Tapi apa daya, alih-alih melapor, para mahasiswa bonyok ini malah menerima perlakuan tersebut secara ikhlas, dan diancam untuk mengakui kesalahan yang bukan kesalahan seharusnya. Senioritas inilah yang nantinya akan menanamkan dendam tiada ujung dan akan terus berlanjut.

Tak lupa pula setelah ajang balas dendam ini selesai dan hasrat memukul senior ini terpenuhi, mereka langsung mengatakan terhadap junior ini, “Kalian diperlakukan seperti ini, karena akibat dari kesalahan yang kalian buat sendiri, tujuannya hanya satu, agar kalian tidak kurang ajar sama senior,”. Dari pernyataan tersebut, kita dapat melihat bahwa para mahasiswa busuk ini sangat gila hormat dan krisis pengakuan.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa tidak ada protes dari mahasiswa dan pengajar di lingkup Polkesmas ini terhadap kebebasan mahasiswa yang diinjak-injak oleh sepatu pentofel bernama : Senioritas.

Di kehidupan sekarang masih banyak yang membatasi antara senior dan junior namun lambat laun mereka akan beradaptasi namun kenangan atas semua yang telah terjadi akan berbekas dalam memorinya. Luka yang dialami akibat perpeloncoan ini akan menjadi kenangan pahit bagi mahasiswa itu sendiri.

Seperti yang dialami seorang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia, Fakultas Kedokteran bernama Rezky Evienia yang meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan Study Club Tim Bantuan Medis di Desa Pao, Tombolo Pao, Gowa, Sulawesi Selatan pada 2016 lalu.

Dalam kegiatan ini disisipkan unsur-unsur kekerasan dan perpeloncoan yang tidak mendidik sehingga menyebabkan Rezky meregang nyawa. Ini hanyalah segelintir contoh dari sekian banyak kasus persekusi yang dialami oleh mahasiswa baru, persekusi ini bisa jadi dalam bentuk verbal maupun fisik.

Pada dasarnya sistem senioritas sudah sejak lama menjadi fenomena dalam kampus akan tetapi dalam pelaksanaanya perlu diadakan perbaikan. Tindakan pembodohan, bullying bahkan sentuhan fisik yang dilakukan senior kepada juniornya  seringkali terjadi. Apakah perlu tindakan seperti itu dalam mendidik atau mendisiplinkan junior?

Solidaritas merupakan jawabanmya, duduk santai dan berdiskusi bertukar pikiran merupakan hal yang lebih bermanfaat sehingga kampus tidak lagi menjadi milik kelompok tertentu (senior). Solidaritas  itu bisa mendisiplinkan atau melatih mental junior menjadi kader yang intelektual berpikir dengan logikanya.

Dan ingat, kita bukan pembantu yang ingin terus patuh kepada majikan bukan pula budak yang harus patuh terhadap “senior”, untuk mengakhiri tulisan saya ini, saya akan mengutip tulisan Soe Hok Gie, yaitu “Masih terlalu banyak mahasiswa munafik yang berkuasa, orang yang pura-pura suci dan mengatasnama Tuhan-kan segala-galanya, sampai-sampai dansa dan naik gunung dibawa-bawa pada soal agama. Masih terlalu banyak serigala-serigala berbulu domba, buaya-buaya judi, tukang-tukang lacur, (baiklah kita terus terang bahwa cukup banyak mahasiswa yang sering ke tempat pelacuran), tukang-tukang bolos dan nyontek yang berteriak-teriak tentang moral generasi muda, dan tanggung jawab mahasiswa terhadap rakyat. Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa, merintih jika ditekan tetapi menindas jika berkuasa, mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi,”

“Salam hangat untuk para senior fasis (pecundang) diluar sana,”

Penulis : Andi Muh. Alfian Naim – Jurusan Kesehatan Lingkungan