Penulis :Reni Anggraeni – Jurusan Analis Kesehatan 2016
Namaku Melisa. Umurku 16 tahun. Teman-temanku kadang memanggilku Lisa. Aku anak ke 3 dari 3 bersaudara. Saat ini aku dan keluargaku tinggal di malang, tapi sebelumnya kami tinggal di Jakarta. Namun, berhubung karna Ayahku di pindah tugaskan ke Malang kerjanya, jadi kami sekeluarga pindah ke Malang.
Di sini kami harus beradaptasi dengan lingkungan sekitar rumah yang entah bagaimana keadaannya.
Pada suatu pagi, alarmku pun sudah berbunyi . Aku membuka mata perlahan lahan untuk mengambil alarm di samping meja samping tempat tidur dan aku langsung menghentikannya. Walau mataku belum sepenuhnya terbuka namun aku segera bergegas ke kamar mandi. Aku ambil handuk lalu kurasakan dinginnya air yang mengalir di tubuhku membangunkan jiwa ragaku.
***
Setelah mandi dan Shalat subuh aku langsung bersiap memakai pakaian seragamku dan bersama Ayah berangkat ke sekolah melakukan rutinitas belajarku. Namun, berhubung karna aku berbeda dengan kakak-kakakku dan teman-temanku yang bisa berangkat ke sekolah sendiri. Mereka yang mempunyai fisik yang sempurna tanpa kekurangan satu apa pun sejak lahir. Lain halnya denganku yang terlahir tanpa sepasang kaki.
***
Melakukan beberapa aktivitas dengan bantuan Ayah. Ia Ayah yang biasa saya sebut sebagai super heroku, pahlawanku. Ia dengan sabarnya merawat ku, menjaga ku membantu segala aktivitas yang tidak dapat saya lakukan sendiri.
Berhubung karna saya sudah berumur 16 tahun. Saya dapat berpikir bahwa tak ada yang ingin di lahirkan dalam keadaan cacat. Hidup sebagai seorang yang berkondisi fisik sempurna pun tak pernah menginginkan menjadi cacat .
Hidup sebagai seorang yang berkondisi fisik sempurna saja sering tak mudah, apalagi jika cacat. Namun hebatnya tak sedikit orang cacat seperti saya memiliki semangat hidup pantang menyerah dengan keadaan .
Di sisi lain, saya hanya manusia biasa yang terkadang berpikir dan muncul suatu pertanyaan yang mungkin menurut sebagian orang itu adalah suatu pertanyaan konyol. Yaitu suatu pertanyaan yang aku tujukan pada Tuhan.
“Mengapa aku terlahir seperti ini Tuhan , mengapa Tuhan sungguh tak adil kepadaku , mengapa Tuhan , mengapa“.
Ini adalah sebuah pertanyaan yang sering terbesit dalam pikiranku sejak aku berumur 6 tahun. Dimana aku melihat teman-temanku yang dapat menikmati masa kecilnya dengan bermain sedangkan aku tidak dan tak jarang pula aku bertanya pada Ayah ku.
“Mengapa aku berbeda Ayah, mengapa aku tak sama dengan teman-temanku. Apa salahku Ayah.
Kenapa Tuhan jahat sama aku Ayah. Kenapa Ayah juga jahat sama aku. Kembalikan kaki ku Ayah.
Kembalikan kaki ku Tuhan. Aku janji tidak akan nakal lagi,” itu adalah pertanyaan yang hampir setiap hari aku lontarkan pada Ayah saat aku melihat teman-temanku bermain dengan bahagianya.
***
Itu masa kecilku yang penuh dengan pertanyaan. Namun hampir semua pertanyaan ku tak dapat di jawab oleh Ayah. setiap aku bertanya Ayah hanya meneteskan air mata tanpa mengeluarkan satu kata. Pun hingga saat ini aku telah berusia 16 tahun dan Ayah masih meneteskan air mata jika aku menyebutkan salah satu dari pertanyaan itu. sedangkan ibu memberiku suatu kata-kata penyemangat.
Namun seiring dengan berjalanya waktu, usia ku pun terus bertambah dari remaja menjadi dewasa. Dimana saya mulai dapat memahami akan keadaanku saat ini. Aku mulai sadar di balik suatu kekurangan pasti akan ada suatu kelebihan yang di berikan Tuhan padaku. Sudahlah itu hanya sebuah kisah menyedihkan dalam hidupku.
Di balik kisah menyedihkan itu, terdapat 1000, bahkan tak dapat aku sebutkan angkanya kisah kisah bahagia yang ada dalam hidup ku.
Disini aku di kelilingi oleh orang orang yang care yang sayang sama aku. Ada juga keluarga, sahabat-sahabat dan masih banyak lagi orang-orang yang sayang sama aku.