Senjapun Ingin Menetap

oleh -

Tempat ini adalah tempat aku setiap hari menunggu seseorang yang entah kapan akan datang menemuiku. Hari-hari kulewati tetap sama, terus menunggu. Sambil duduk dipinggir pantai sepanjang sore, sesekali aku menatap langit yang berwarna merah kekuningan. Zona dimana telinga tertutup earphone kala mendengar musik favorit kami dulu dan tangan yang menggenggam handphone menunggu musik terjeda karena dering notif darinya.

Benar, dipantai ini adalah tempat kami sering menghabiskan waktu dikala senja mulai hadir dirangkulan awan indah seolah pelengkap cerita semestaku. Ditempat ini kami bercerita seolah tak ada habisnya, hingga burung yang berterbangan menghiasi langit yang menua. Tertawa riang, sesekali saling menatap hingga tersenyum malu. Sore seakan mendekap kami berdua karena romantis itu ketika dia humoris. “Ada apa?” Kataku padanya yang menatapku. “Jangan senyum terus” Sambungku. “Mata yang indah” Katanya saat memandangiku 5 bulan yang lalu.

Katamu kau akan menemaniku, mendengar keluh kesahku. Katamu senja adalah perwujudan dari kasih sayang matahari dan bulan yang saling mengasihi, meski senja pergi namun aku selalu percaya ia akan kembali esok ditempat dan waktu yang sama. Walaupun kamu bersikap seadanya, tapi aku tahu apa-apa saja yang kamu suka termasuk saat kulibatkan kamu disetiap ceritaku. Lantas mengapa langkahmu semakin jauh? Kamu meninggalkan senja yang tidak meninggalkanmu. Aku harap suatu saat nanti ketika kita dipertemukan kembali, semoga saja aku masih mengingatmu. Namun tanpa rasa, tanpa ragu untuk tersenyum, ataupun takut untuk menyapa. Sampai senja menjawab harap. Namun yang ku gelisahkan, setelah beberapa langkahku menjauhi tempat kami.

“Nikk…” Suara itu, pikirku dalam hati. Masih dalam keadaan heran dan sedikit tidak menyangka.

Hasratpun sedikit bertanya sebelum kupalingkan wajah ke arah suara yang sepertinya memanggilku. Suara dengan nada khas yang mampu menenangkanku, sederhana namun sehebat itu menusuk hatiku. Ternyata salah seorang pengunjung yang menyuruhku kembali ke tempat semula, tentunya aku bingung. Tapi setelah melihat bola mata itu, yang sempat bertatapan cukup lama denganku. Dan ternyata dia orangnya.

“Gio…” ucapku dengan ekspresi setengah kaget dan ingin memastikan.

Benar, itu Gio! Lelaki yang pernah bersamaku menghabiskan hari dipantai ini. Tubuhku tiba-tiba mematung melihat lelaki yang dulu berambut gondrong kini plontos nyaris habis. Tubuh yang dulu tinggi kurus kini sedikit berisi, tiba-tiba berada dihadapanku.

“Apa yang kamu lakukan disini?” kataku dengan tutur nada marah di ikuti dengan alis seolah sinis. 

“Niki…Maafkan aku. Duduklah sejenak setelah itu kita akan bercengkrama tentang rindu yang terpasung, sambil menunggu suguhan awan warna jingga keemasan.” Jawabnya tanpa rasa bersalah sambil mempersilahkanku duduk.

“Apa? Maaf katamu? Sajakmu terlalu indah untuk kehadiran tiba-tiba setelah kau pergi begitu saja tanpa penjelasan.” Nikita sedikit emosi dan mulai berdiri dari tempat semula ia duduk.

“Nikk, dengar dulu. Ada yang harus kamu ketahui, kenapa tiba-tiba saja aku menghilang tanpa kabar.” Ia berdiri tepat dihadapan Nikita.

“Mungkin ini waktunya mengatakan semua ke kamu”

Nikita yang tampak kebingungan ingin marah,bahagia, tapi tetap saja emosi melihat Gio dan mengacuhkan perkataannya. Seolah tidak peduli dan terima dengan kejadian sebelumnya. Hanya bisa terdiam, air matanya mengalir membasahi pipinya yang memerah.

“Mungkin kamu tidak akan percaya. Kamu ingat tidak  5 bulan lalu? Malam dimana kita pulang dari tempat ini. Setelah memastikanmu sampai dirumah dengan selamat. Di perjalanan pulang, tiba-tiba saja sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi menghantamku”

“Lalu kenapa tiba-tiba saja kamu disini? padahal kabarmu nyaris hilang selama 5 bulan” tanyaku mulai kebingungan

“Selama 4 bulan lebih lamanya aku koma, bahkan di vonis tidak ada harapan lagi untuk hidup. Namun takdir berkata lain, sampai akhirnya hari itu seakan hari lahirku kembali”. Suasana semakin hanyut dalam kesedihan dengan kenyataan yang dialaminya

Aku mulai pucat mendengar perkataan itu.”Ya Tuhan, jadi selama ini…” Aku mulai terdiam dan berkata dalam hati.

Beberapa menit mereka saling terdiam, entah apa yang ingin dikatakan keduanya. Sampai akhirnya Gio mendekatiku dan memelukku dengan sangat erat, kesedihan yang sudah tidak terbendung dihati Gio. Aku yang tadinya sangat marah bahkan tidak sudi mendengar sepatah kata dari Gio  yang kini melanjutkan hujan dimatanya.

“Maafkan aku. Aku salah, tidak tahu apa yang kamu alami. Bahkan dalam susah aku tidak disisimu, Gio maafkan aku. Aku kira kamu sudah tidak mau menemaniku, kamu bosan dengan wanita rumit sepertiku, aku kira kamu hanya datang karena penasaran, aku kira…” Kalimat yang terucap berkali-kali dimulutku sambil terbata dan tak mampu melanjutkan lagi kata yang berbisik dibenakku dari dulu.

Kisah yang kami alami  akan menjadi cerita awal dari sebuah perjuangangan menjaga komitmen. Air mata kami menjadi tanda dari sebuah ketulusan menyertai senja yang mulai hilang dari pandangan.

Saat itu adalah hari yang menjadi saksi dari pertemuan sepasang teman sejati yang sudah sekian lama terpisah oleh waktu, redupnya udara senja dan cahaya berwarna jingga menjadi saksi dan seakan langit ikut terharu melihat pertemuan mereka.

Cinta yang menyempurnakan adalah mereka yang ingin selalu berjuang. Bukan seberapa indah pengungkapannya, tapi seberapa tulus pembuktiannya. Didalam cinta, harus ada kekuatan doa dan rasa tanggung jawab satu sama lainnya. Cinta bagiku lebih dari sekadar rasa nyaman, seperti senja yang selalu menghiasi langit dengan cahayanya. Meski ia akan pergi, namun tetap berusaha untuk memancarkan kilauannya esok hari. Karena sejatinya, senjapun ingin menetap dan melanjutkan cerita yang tak akan pernah mati.

 

Penulis : Eka Miftahul Jannah – Jurusan Keperawatan Gigi 2018