Pagi begitu cerah dengan awan putih yang indah menakjubkan. Sebuah anugrah ciptaan Sang Maha Kuasa, memancarkan cahaya keemasan. Azan berkumandang dengan begitu merdunya, sehingga banyak burung-burung terhanyut di bawah kemerduannya. Tahmid, takbir, dan tasbih, terdengar jelas sehingga dapat menyentuh hati yang rapuh.
Menunggu seseorang yang jauh disana, begitu pula seorang wanita yang duduk sendiri di kursi Stasiun Jakarta sambil membaca novel itu. Sehingga tidak mendengar seorang wanita tua berjalan tergopoh-gopoh memanggilnya dari tadi.
“Nak Layla?,” teriak wanita tua itu, Layla tetap larut membaca novel itu.
“Nak Layla Tul Mardiyah?,” teriak kedua kalinya.
Layla tersadar seseorang memanggilnya dari tadi “Astaghfirullah, maaf umi, Layla tidak mendengar umi,” jawab Layla dengan muka merasa bersalah.
“Nggak apa tu nak, Santai aja, lagian sih nak Layla lagi baca apa tuh?,” Umi Aminah bertanya dengan penuh keheranan.
“Oh, ini Novel Habiburrahman El-Shirazy. Novelnya bagus banget, sangat termotivasi,” ucap Layla dengan senyumannya.
“Nak Layla sebentar lagi kareta akan datang, jadi terlebih dahulu kita berdoa. Semoga dilancarkan selamat dalam perjalanan,” kata Umi Aminah.
“Iya, umi,” jawab Layla dengan rona senyum diwajahnya.
Selang beberapa saat, kareta dari Stasiun Kota Bogor pun akhirnya datang. Penumpang berdesak-desakan berebutan kursi, siapa yang lebih dulu naik. Layla dan Umi Aminah duduk di kursi 10 E pada gerbong 1.
Selama perjalanan Layla hanya terdiam dan termenung sambil memikirkan pemuda yang selama ini ia kagumi dalam diam. Ya, itu adalah Yusuf Al-Qarni teman baik Layla Tul Mardiya. Yusuf adalah kakak kelas Layla di Madrasah Aliyah Negeri di Jakarta. Saat di sekolah, Yusuf lah yang sering ada ketika Layla terpuruk. Saat di sekolah Layla dituduh telah mencuri uang salah satu temanya, sehingga Layla terancam dikeluarkan dari sekolah. Tapi ada Yusuf yang menjadi saksi kalau Layla tidak bersalah, dimana semua teman sekelas Layla banyak yang tidak suka denganya sehingga dia mencoba menjebaknya.
Akhirnya Layla bebas dari hukuman itu dengan tidak dikeluarkan dari sekolah. Layla sangat berterima kasih kepada Yusuf karena telah membantunya. Akhirnya mereka akrab tapi berjarak. Karena Yusuf pemuda sholeh, ia tidak mau dekat dengan wanita yang bukan mahramnya.
Disitulah Layla terhanyut dalam kesopanannya, dan cara menghargai seorang wanita. Setiap bertemu Yusuf, ia tidak dapat menatap wajah pemuda sholeh itu. Setelah Yusuf tamat dan melanjutkan sekolahnya di kairo Mesir, Layla hanya pasrah mudah-mudahan ia bisa bertemu dengannya lagi.
Layla melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi negeri yang ada di Kota Bogor, yaitu Institut Pertanian Bogor. Dengan mengambil jurusan pertanian dan menyelesaikan pendidikannya di IPB dengan hasil yang memuaskan.
Tak terasa kareta telah sampai di Stasiun Kota Bogor, tepat jam 15.00. Layla dan Umi Aminah turun dari kareta itu, sambil menurunkan barang yang amat banyak. Sesampainya di rumah, mereka disambut hangat oleh Abah Umar.
Abah Umar adalah orang tua sambung Layla, karena Ayah kandungnya meninggal setahun yang lalu, sehingga membuat Umi Aminah menjadi terpuruk. Tapi dengan kehadiran Abah Umar ia bersedia menjadi orang tua sambung anaknya, dan akhirnya menikah dengan Umi Aminah. Tetapi dengan kehadiran abahnya, kasih dan kenanganya tidak akan terlupakan dengan ayah kandungnya.
Layla menghempaskan tubuhnya ke ranjang, untuk menghilangkan kepenatan karena menempuh perjalanan jauh. Tiba-tiba Umi Aminah mengetuk pintu kamar Layla dengan begitu pelan.
“Tok! Tok! Tok! Layla! ini Umi bawakan teh hangat untuk mu sayang,” Layla segera bangkit dari kasur dan membuka pintu. Umi Aminah masuk dan langsung duduk di samping Layla, sambil mengelus kepalanya.
“Layla, Umi mau tanya sesuatu kepadamu nak, boleh?,” tutur Umi Aminah dengan penuh arti. Layla meletakkan gelas itu sambil tersenyum kepada uminya.
“Iya Umi, ada apa?,” jawab Layla dengan serius.
“Layla kan baru lulus kuliah, Layla kami tidak paksakan. Abah dan umimu ingin menikahkan kamu dengan seseorang, apakah kamu setuju?,” tanya Umi kepada Layla. Layla kaget dengan perkataan Uminya dan terdiam.
“Maksud Umi, Umi ingin menikahkan ku dengan seseorang? tapi…,” jawab Layla dengan muka polosnya.
“Aku tunggu jawaban Layla, ya, karena azan magrib sudah berkumandang,” kata Umi Aminah dengan senyumannya.
Azan Magrib mulai berkumandang dari masjid-kemasjid, dengan memanggil jiwa yang telah terlelap dalam mimpi. Mengaliri dari kalbu dan dinginnya angin malam. Bintang-bintang mulai menghiasi langit malam, dengan memancarkan cahayanya yang begitu indah.
“Nak Layla, kita sholat dulu dimasjid,” Abah mengajakku dengan pakaian sudah rapi.
“Iya Abah,” Layla segera bangkit dan berjalan sambil mengambil air wudhu, tak lupa mukenah. Selesai sholat Layla berdoa dengan penuh kekusyukan.
“Ya Allah ampunilah segala dosa hamba-Mu yang hina ini, Jangan biarkan aku termakan oleh bujukan rayuan syaiton dalam memikirkan hal-hal yang membuatku jatuh dalam kejurang dosa, Ya Allah hamba sering memikirkannya di setiap waktu,” lama-kelamaan air mata Layla tumpah membasahi pipinya, “Ya Allah jika dia jodohku pertemukanlah, namun jika tidak jauhkan. Kak Yusuf jauh di lubuk hati ini yang masih berharap kepada-Mu, Aamiin,”.
Layla merasa lega karena telah mengadukan semua permasalahannya dengan sang Maha Pencipta. Setelah Layla selesai berdoa, ia langsung pulang bersama Abah Umar. Sesampainya di rumah Abah Umar memanggil Layla, diikuti oleh Umi Aminah di belakang.
“Layla?, Umi mu sudah bertanya ke Layla, apakah Layla siap?,” tanya Abah Umar dengan penuh ke harapan.
“Bismillah, Layla mengikuti ridho Abah dan Umi,” Layla hanya tertunduk pasrah dan melanjutkan pembicaraannya”tapi dengan satu syarat? setelah Layla menikah, Layla ingin melanjutkan pendidikan Layla” kata Layla melanjutkan pembicaraannya.
“Alhamdulillah, baiklah nak itu pasti, yang penting Layla siap. Abah dan Umimu menikahkan Layla dengan seorang pemuda yang kerja di kairo. Jadi kita senang jika Layla setuju,” jawab Abah Umar dengan hati yang gembira.
“Apakah ini tidak terlalu cepat Abah dan Umi?,” tanya Layla.
“InsyaAllah, dia terbaik untukmu,” Umi Aminah dengan memeluk Layla.
“Abah, pemuda yang kerja di kairo namanya siapa?,” tanya Layla dengan penasaran.
“Iya, nama pemuda itu adalah Abdullah. Kamu pernah satu sekolah dengannya di Madrasah Aliyah dulu, nanti Layla akan tau sendiri orangnya,” jawab Abah Umar denga