Krisis Berpikir

oleh -
Salah satu potret bangunan Kampus Poltekkes Makassar.

MAKASSAR, INTELLIGENT – Saat ini sebagian kampus bukan lagi wadah yang mengembangkan daya nalar mahasiswa. Melainkan sebaliknya, ia telah menjadi semacam penjara yang memenjarakan nalar. Dimana kampus tidak lagi mendorong potensi mahasiswa dalam berpikir kritis.

Tentu penyebabnya sangat berkaitan dengan sistem pembelajaran dan peranan tenaga pendidik (dosen) di kampus tersebut. Dimana kedua hal itu baru dikatakan berhasil ketika telah mencapai tujuan substansialnya yaitu membuat tenaga pelajar (mahasiswa) itu paham terhadap apa yang telah diberikan.

Berbicara sistem pembelajaran setiap kampus menerapkan metode yang berbeda-beda. Ada yang lebih condong menggunakan metode menghafal, ada juga yang lebih condong menggunakan metode dialektika. Nah metode dialektika inilah yang diperlukan dan saya rasa tepat digunakan dalam sistem pembelajaran untuk menguji bahkan mengembangkan daya nalar dan kemampuan analisis mahasiswa dengan adanya interaksi mahasiswa dan tenaga pendidik (dosen) yang saling berperang argumentasi terhadap objek yang dipelajari melalui diskusi ataupun debat.

Sehingga dapat dikatakan bahwa keduanya (dosen dan mahasiswa ) berperan aktif dalam menanggapi objek pembelajaran. Dan posisi mahasiswa tidak lagi menjadi pasif menerima dan menelan mentah mentah secara instan apa saja yang dituturkan oleh dosen tanpa adanya ujaran pendapat yang bernilai kritik ataupun saran. Hal tersebut dikatakan sebagai metode Gaya Bank oleh Paulo Freire dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas” yang berisi kritikan mengenai sistem pendidikan.

Namun disamping itu ada lagi suatu hal yang masih menjadi penghambat dalam mengembangkan nalar kritis mahasiswa, yaitu peran tenaga pendidik (dosen) dalam kriteria dan cara mengajar yang berbeda-beda.
Dimana metode yang diterapkan sudah tepat namun sang dosen tidak mampu menghidupkan metode itu.

Hal ini dikarenakan subjektifnya dosen dalam menilai mahasiswa atau bahkan mereka menganggap bahwa dirinya Sebagai seseorang yang lebih tau apapun dibanding mahasiswa dikarenakan alasan ilmiah yaitu capaian atau jabatannya sebagai seorang dosen.

Dan hal ini dapat dikatakan sebagai hal yang mengarah pada sistem feodalisme. Juga hal ini menurut saya termasuk menyalahi hakikat demokrasi sebagaimana sistem pemerintahan kita yang demokratis. Dimana pada ranah kampus kebebasan berpendapat terbatasi bahkan tidak lagi dimiliki oleh mahasiswa karena di dikte oleh subjektifnya dosen dalam meletakkan kriteria penilaian.

Mengutip sedikit perkataan dari bapak Rocky Gerung sebagai sorang filsuf, akademisi dan intelektual publik di Indonesia yang namanya kini hangat diperbincangkan karena kritik dan dalil-dalil rasionalnya. Beliau berkata bahwa ” ijazah adalah bukti bahwa kita pernah bersekolah, bukan bukti bahwa kita pernah berfikir “. Tentu dari perkataan ini dapat dipetik makna bahwa tidak mutlak seorang dosen itu dianggap lebih tau daripada mahasiswa.

Karena bisa saja mahasiswa ini mengetahui bahkan menguasai suatu hal yang diluar pengetahuan dosen karena capaiannya melalui pengalaman ataupun pendidikan yang bersifat non formal. Jadi tidak ada kesenjangan antara dosen dan mahasiswa bahkan dianggap setara dalam perspektif pengetahuan sebagai orang-orang yang mengejar dan mengecap manisnya pengetahuan.

Menurut saya, sebagai tenaga pendidik seharusnya dosen menjadi inspiratif, Serta lebih bijak dalam membimbing mahasiswanya. Agar tercipta tenaga pelajar yang berkualitas, berpikir kritis bukan malah tenaga pelajar yang krisis berpikir. Bahkan dituntut adanya hubungan emosional diantara keduanya dan diharapkan agar dosen lebih terbuka pada mahasiswanya dalam menjalin pembelajaran agar terjadinya kenyamanan yang tentunya juga tanpa menyimpang pada tujuan substansialnya.

Karya: Farhan Al Ghozzy